Sebut
saja aku Ana. Usia ku mulai memasuki angka 17. Aku anak ke dua dari 4
bersaudara. Aku punya dua adik, laki-laki dan perempuan. Kakak ku laki-laki
satu. Kami berempat hidup rukun walaupun orangtua kami jarang di rumah. Tapi
jujur, dengan jarangnya orangtua ku itu di rumah, aku belajar banyak tentang
rumah tangga. Memang, tidak sedikit pun aku belajar bagaimana mencari uang,
karena uang terus saja mengalir dari rekening orangtua ku ke rekening kami,
anak-anaknya.
Aku
memiliki satu pembantu yang tugasnya hanya memasak. Dihari-hari libur ku, aku
menemani pembantu ku yang kupanggil bibi memasak. Bibi memang orang lain bagi
keluarga kami, tapi Bibi jauh lebih mengerti kami dibanding orangtua kami.
Sebut saja ketika kakak ku, Andi mulai merasakan getaran-getaran asmara. Bibi
dengan cepat bisa membaca gerak-geriknya. Sambil terus saja memasak Bibi
menasehati Ka Andi walaupun hanya dibalas dengan senyuman setuju.
Bibi
ku itu memang hebat. Mari ku buktikan hal hebat lainnya.
Hari
ini, aku ulang tahun yang ke 17, seperti ulang tahun yang sebelum-sebelumnya,
hanya ucapan selamat ulang tahun beserta kue dan hadiah yang kuterima dari ayah
dan ibu ku. Hanya hadiah dari bibi yang selalu aku tunggu. Bibi sudah
membangunkan ku pagi-pagi sekali. Entah apa tujuannya, tapi aku tau tujuan itu
pasti baik sekali. Bibi menunjukkan hadiah hadiah yang dikirimi orang-orang
terdekat ku. pengertian terdekat disini bukan berarti mengenalku jauh, tapi
hanya dekat dalam hubungan darah. Seperti itulah pengertian orang terdekat dimata
ayah, ibu serta keluarga besar ku.
Bibi
tidak hanya membangunkan ku, tapi juga kakak dan adik ku. kami berempat selalu
akur, selalu menghargai, itulah hasil didikan bibi.
Setelah
ritual pagi ulang tahun ku selesai, yaitu meniup lilin dan berdoa kepada Allah,
mulailah bibi menutup mata ku. adik dan kakak ku telah mengetahui apa yang akan
bibi berikan kepada ku, mereka juga yang merencanakan itu. Mata ku tertutup,
dan aku dituntun menuju mobil. Duduk di mobil dengan tegang, baru kali ini aku
dibawa keluar rumah dengan ditutup matanya. Aku tak henti-hentinya bertanya
kita mau kemana, tapi tak henti-hentinya juga bibi, adik, dan kakak ku menjawab
nanti juga kau tau sendiri.
Setelah
setengah jam didalam mobil, aku pun turun dari mobil. Dag dig dug. Aku semakin
deg-degan. Detak jantungku tak beraturan. Hujan pagi yang turun membuat kaki ku
yang tertutup kaus kaki basah.
Tiba-tiba
tangan ku merasakan ada sesuatu yang menggandeng. Tangan-tangan yang begitu
lembut dan kecil. Bibi melepas penutup mata ku dan aku segera melihat
orang-orang yang menggandeng tangan ku. Tangan-tangan itu menarik ku masuk ke
dalam rumah mereka. Rumah yang tidak terlalu besar dan hanya ada beberapa
orangtua disitu. Kak Andi tersenyum melihat ku kebingungan dengan tempat yang
baru saja kami datangi. “panti asuhan” kata Bibi singkat.
Bibi
memang begitu hebat. Memberikan hadiah ulang tahun ku di tempat yang belum
pernah aku kenal. Anak-anak kecil tak berdosa, anak-anak yang berhak
mendapatkan kasih sayang orang tua, yang seharusnya berada di dekapan orang
tua, belajar mengucapkan sepatah demi sepatah kata, belajar berjalan, terjatuh
dan menangis di dalam dekapan orang tua. Sekecil ini, semuda ini harus hidup
tanpa mengenal orang tua kandung. Hati ku tersentuh.
Ka
Andi dan dua adik ku sudah menyiapkan barang-barang yang akan diberikan untuk
adik-adik di panti ini. Kue ulang tahun ku pun sudah disiapkan di atas meja.
Lilin-lilin kecil yang berjumlah 17. ‘make a wish’ begitu biasanya sebelum kita
meniup kan lilin. “ya Allah, aku ingin menjadi aktivis panti ini. Aku ingin
menjadi bagian dari panti asuhan ini. Aku ingin membuat anak-anak kecil disini
bahagia. Amin” kemudian lilin ku tiup dan semua pun bertepuk tangan. Saat
pembagian kue, semua anak tersenyum, bahagia sekali, ibu panti pun ikut bahagia
melihat anak-anaknya tersenyum.
Ulang
tahun ku kali ini benar-benar ulang tahun terhebat.
***
Esoknya,
esoknya, dan esoknya lagi, aku datang lagi ke panti ini. membawa tumpukan
buku-buku SD ku dulu. Ka Andi dengan iklas mengantar ku ke panti dan membantu
membawakan tumpukan buku. Aku mulai mengenalkan mereka kepada huruf-huruf
alphabet, kata-kata, lagu-lagu. Dengan sangat mudah aku akrab dengan anak-anak
panti. Aku menjadi ketagihan datang ke panti ini. Begitu juga anak-anak panti
yang selalu menantikan kehadiran ku. Saat-saat aku ingin meninggalkan mereka
untuk pulang adalah saat yang paling sulit. Tidak jarang terdengar paduan suara
tangisan anak panti ini. Memang benar jika tangisan anak kecil membuat kepala
pusing. Jika anak-anak panti sudah menangis tidak ada yang bisa kulakukan
selain menunda kepulangan ku.
Hal
yang bisa membuat ku pulang dengan mudah adalah dengan mendongengkan mereka.
Salah satu dari mereka memilih buku dongeng, dan meminta ku untuk membacanya.
Entah bakat terpendam dari mana, aku membacakan cerita itu dengan penuh
penghayatan, saat cerita selesai hanya beberapa orang yang masih tersadar,
mereka selalu bertanya bagaimana kelanjutan si tokoh, apakah tokoh itu hidup?
Apakah tokoh itu nyata? Dimana rumah tokoh itu? Bisakah kita ikut bertualang
dengan tokoh itu?
Semua
pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya mereka tanyakan ke orang tua mereka.
Anak-anak hebat yang harus kehilangan orang tua mereka terlalu dini.
Setelah
tepat sebulan aku menjadi bagian dari panti asuhan ini, aku tersadar, aku tidak
mungkin terus-terusan menjalani panti ini sendirian, aku butuh donator.
Walaupun aku tau, uang kiriman orang tua ku tidak akan habis dan bahkan orang
tua ku tidak akan peduli untuk apa uang itu.
Aku
mulai mengajak orang-orang disekitar ku beramal, bersama mendirikan panti ini.
Ka Andi, dan dua adik ku, Azhar dan Husna sudah setuju untuk menyisihkan
uangnya lima ribu perhari untuk panti ini. Aku pun tidak kalah, ku sumbangkan
buku, tenaga, waktu, dan juga uang kiriman orang tua ku untuk panti ini. Bibi
dan pembantu ku yang lain siap menyisihkan 2,5% dari gajinya untuk panti ini.
Kini giliran teman-teman sekolah ku yang kuajak menyisihkan uangnya untuk panti
ini. Aku selalu berkata kepada mereka, seribu rupiah tidak akan membuat kalian
miskin. Aku pun tak pernah lupa tersenyum saat mengajak mereka. Beberapa teman
ku sudah tergerak, bahkan mereka pun ikut datang ke panti beberapa hari sekali.
Namun, ada juga beberapa orang yang terlalu cuek. Tapi tidak hentinya aku
tersenyum dan terus mengajaknya, walaupun kadang cap orang sok baik datang,
tapi aku tetap semangat demi panti ku ini.
Sehari
aku bisa mengumpulkan dua puluh ribu dari teman teman sekolah ku. Dan dalam 30
hari sudah ada enam ratus ribu, ditambah lagi uang dari bibi dan pembantu ku yang
lain, serta uang dari Ka Andi, Azhardan Husna serta kiriman uang dari orang tua
ku setiap bulan terus bertambah. Orang tua ku berkata bisnis mereka semakin
berjalan lancar, mereka sudah memiliki sedikit waktu untuk menelepon
anak-anaknya. Aku semakin sering menceritakan perkembangan panti ke orang tua
ku.
Kini,
dana untuk panti ku ini sudah mulai lancar. Sekarang saatnya mencari
orang-orang yang mau membantu memberikan pendidikan awal sebelum anak-anak
panti ini mengenyam bangku sekolah. Aku ingin anak-anak di panti ini menjadi
anak yang hebat, dapat mengerti pelajaran sebelum diajari oleh gurunya, dapat
menempati peringkat teratas di kelas. Aku ingin mereka menjadi anak-anak yang
hebat.
***
Usia
ku kini 18, sudah memasuki musim ujian. Aku kelas 3 SMA jurusan IPA. Dan kini
aku memasuki masa-masa galau. Aku bingung harus melanjutkan kuliah kemana. Aku
tidak ingin meninggalkan panti ini, aku tetap ingin bersama mereka, tapi aku
juga memiliki masa depan. Mungkin jika masa depan ku nanti sukses, aku bisa melanjutkan
cita-cita ku ini untuk membuat anak-anak panti bahagia dan menjadi anak yang
hebat.
Aku
berpikir keras, hingga akhirnya aku menemukan solusi terhebat. Untuk urusan
kuliah ini aku telah berdiskusi dengan orang tua ku. Aku akan mengambil jurusan
PAUD. Setelah melalui perdebatan panjang dengan orang tua, dengan Ka Andi dan
keluarga besar ku yang lain. Aku memenangkan perdebatan itu, dan aku mengambil
jurusan PAUD.
Sedikit
demi sedikit aku mulai memahami karakter anak kecil. Aku sungguh senang telah memilih
jurusan PAUD ini, dan aku sungguh berterimakasih kepada bibi yang telah
mengantarkan ku ke panti ini, serta orang tua dan teman-teman yang telah
menyisihkan sebagian uangnya untuk panti ini. Aku sungguh bahagia bisa
menjalankan panti ini dan kehidupan ku juga terus berlanjut dengan baik.
Terimakasih Tuhan, karena telah mendengar doa ku J
Jakarta, 29 Mei 2012
20:08
Lobelia Asmaul Husna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar