Senin, 25 Oktober 2021

 Bukannya rindu itu normal?
Iya jadi tidak normal hanya karena merindukan orang yang jauh disana, yang sudah beda alam. Atau sebenarnya itu hanya normal, asalkan tidak diikuti dengan pemaksaan untuk segera bertemu.

Tapi anehnya, 
Ternyata, 
Bersama dengan diskusi para anak yatim - yang perempuan - kami menyadari bahwa kekosongan itu benar-benar tidak bisa dihilangkan. Bukannya semakin terbiasa dengan ketidakberadaannya, justru malah kerinduan terasa lebih lebih lebih nyata dan kekosongan terasa lebih lebih lebih real.

Kadang, masih sering memikirkan, 
Ah iya, ayah udah gak ada. 

Atau ketika di rumah sendirian, 
Ah iya, ayah udah gak ada.

Ketika pulang ke rumah di bukan jam sholat lalu menemukan tidak ada siapapun di rumah,
Ah iya, ayah udah gak ada. 

Kadang, sampai menangis. 
Kadang, hanya bersedih.
Kadang, hanya mampu menghembuskan nafas. 

Bagaimana bisa, seseorang yang dulu ada, sekarang tidak lagi ada. Seseorang yang selalu terlihat, tidak lagi bisa dilihat. Seseorang yang apabila ia ada pun tidak ada interaksi yang besar dan banyak. Namun tetap berhasil dirindukan. 

Ah bagaimana mungkin. 
Sedihnya, 
Tidak ada lagi seseorang yang dengan cerianya bisa dipanggil Ayah. 
Sekarang justru menjadi seseorang yang kehadirannya dipikiran membawa pada air mata. 

Ah bukan kah itu menyedihkan?
Dan kadang, sesekali, ketika kebahagiaan datang, muncul sebuah pertanyaan,

"apakah pantas untuk berbahagia sedangkan ayah tak lagi ada?"
"apakah boleh banyak tertawa sedangkan ayah tak lagi dapat diajak bicara?"

Sedih memang, tapi hidup terus berlanjut, dan merindukan ayah bukan sesuatu yang bisa diatur. 

Jumat, 15 Oktober 2021

 Allah itu, gak selalu kita mengerti dan pahami makna bahasa cintaNya. Karena manusia seringkali hanya hidup untuk masa sekarang. Sedangkan Allah berbahasa untuk setiap zona waktu yang ada.

Sekarang, kita bisa lihat bahwa ada hal hal yang menyakitkan, tapi besok lusa ternyata membawa berkah. Atau kemarin kita bahagia karena satu hal, tapi besok justru menyedihkan. Ini, bisa jadi, karena pengetahuan manusia terbatas. Dan perasaan tidak ada yang abadi, sedangkan Allah maha mengetahui.

Tidak mudah memang, mengakui bahwa Allah yang maha mengatur segalanya, lebih tau tentang diri kita. Terlebih karena apa yang membuat kita bahagia sekarang seringkali dipandang sebagai sesuatu yang membahagiakan selamanya. Padahal, besok besok tidak.

Lucu kan?

Penguasaan zona waktu sekarang manusia inilah yang seringkali membuat bahasa takdir Allah sulit terbaca. Jadi, seringkali perlu refleksi mendalam terhadap kejadian yang satu dengan kejadian yang lainnya. Melihat pola, sebab akibat, kekurangan dan kelebihan serta hal hal yang tidak terbaca lainnya diwaktu sekarang saat kejadian tersebut terjadi. 

Jika berhasil, maka bahasa cinta Allah akan lebih mudah sedikit sedikit dipahami. Bisa saja dengan cara yang luar biasa seperti tiba-tiba terilhami atau bahkan dengan renungan panjang panjang sampai pada tahapan, apa ya makna bahasa takdir Allah yang ini?

Kalau masih sulit, tidak apa-apa. Ternyata dalam Al Quran sudah secara jelas ditukis, bisa jadi kita menyukai sesuatu padahal itu tidak baik untuk kita dan bisa jadi kita tidak menyukai sesuatu padahal itu baik untuk kita.

Tau darimana kita bahwa itu baik atau tidak untuk kita tanpa kita merasakan secara langsung? Bukankah harus didapatkan dulu atau ditolak dulu?

Nah itu, bahasa cinta dan juga bahasa takdir Allah.

Bukan untuk dibaca dan dipahami oleh mereka yang mengaku beriman tapi tidak mau diuji. Bukan untuk mereka yang mengaku hambaNya tapi mengabaikan kewajiban padaNya.

Lantas, sudah seberapa banyak kita coba memahami bahasa bahasa cintaNya?

Atau, gini deh, sebelum jauh jauh memahami bahasa cintaNya.

Sudah sejauh apa berkomunikasi denganNya? Seberapa sering? 

Kamis, 07 Oktober 2021

Kembali Memulai, dengan ikhlas.

 Perjuangan itu bisa dimulai dari mengikhlaskan, dengan sadar. Bahwa tak selamanya ikhtiar yang membawa angan tercapai, namun doa doa. Bukan juga doa-doa yang kita lantunkan, bahkan disepertiga malam terakhir penuh dengan air mata.


Bisa jadi, apa yang diperjuangkan kemudian berhasil didapatkan justru karena keikhlasan. Ikhlas membantu tanpa ada harap kebaikan berbalik. Ikhlas menerima hal yang kenyataannya berat namun karena kesabaran justru Allah balas berlipat. Ikhlas, yang tanpa sadar karena sudah dilakukan berulang, akhirnya hanya terjadi saja.


Hanya ikhlas, tanpa mengusahakan ikhlas.


Ikhlas yang terbiasa, yang akhirnya tidak sadar bahwa kita sedang mengikhlaskan sesuatu.


Dan kembali, perjuangan yang dimulai dengan keikhlasan, maka ridho dan cita hanya akan mengarah kepada Sang Maha.


Apapun, katanya, apabila itu baik bagi agamanya, bagi kehidupannya, bagi Tuhannya, dan bahkan bisa membuat dia lebih dekat dengan Tuhannya, maka ia akan memperjuangkan dengan ikhlas.


Namun apabila sebaliknya, bahkan ia akan tetap berjuang dengan ikhlas. Karena ia tau, hasil akhir adalah tugas Tuhannya. Baginya, baik atau tidak, hanya Tuhannya yang tau. Dan dia hanya berusaha dengan ikhlas.


Maka, kali ini mari kita berjuang kembali, dengan ikhlas. Tanpa khawatir hasil akhir, karena itu bukan urusan kita. Mari lakukan yang terbaik walaupun insecurity itu hadir, walaupun overthinking itu menyapa, walaupun airmata mengalir.


Tak apa, kita lanjutkan saja perjuangan, sampai selesai, sampai nanti Tuhan yang putuskan. Apakah itu untukmu atau untuknya.