Rina termenung
mendengar lagu yang diputar di radio. Matanya berkaca-kaca. Ada hal yang sedang
mengganggu pikirannya, ditambah lagu yang diputar di radio itu benar benar
membuat dadanya semakin sesak. Sakit… sakit sekali. Seandainya saja ada hal
yang mampu dia lakukan untuk menghilangkan rasa sakit itu. Walaupun beribu
tetesan air mata telah jatuh, hal itu sama sekali tidak akan membantu.
Kenapa dadanya begitu
sakit padahal tidak ada satu pun luka yang terlihat. Rentetan kejadian beberapa
menit yang lalu berputar kembali. Air matanya semakin mengalir deras tidak dapat
terbendung lagi. Setetes demi setetes air mata itu jatuh, rasa sakit itu masih
tetap terasa. Rina mencoba menghapus air matanya, sebelum air mata itu jatuh,
dia telah menghapuskannya. Rina melarang air mata itu jatuh, tapi airmata itu
terus saja melawan kecepatan tangan Rina. Rina pun menyerah dan membiarkan air
mata itu jatuh, terus terus dan terus.
Satu jam yang lalu Dika
datang ke rumahnya. Rina tau ada yang salah, kedatangan Dika yang begitu tiba
tiba dan dari raut muka yang Dika tunjukkan, semuanya begitu aneh.
“Rina, ini bukan yang pertama
atau kedua kalinya kita mempermasalahkan hal ini.” Rina mengangguk mendengar
perkataan Dika.
“kita hampir dua tahun
bersama, kamu tau kan?” Rina kembali mengangguk. “dan kamu tau hal yang
membuatmu marah adalah hal yang itu saja.” Rina mulai menggigit bibirnya.
“Rina…” Dika
melembutkan suaranya.
“aku sangat membutuhkan
kepercayaan darimu, dan kita hampir dua tahun, tapi kepercayaan itu tak kunjung
hadir.” Rina semakin keras menggigit bibirnya. Kini Dika menghembuskan
nafasnya, seakan mencoba mengangkan beban yang ada dipundaknya.
“kita sudahi saja” Kata
kata itu telah keluar.
“maaf…” Rina benar
benar mencegah air matanya untuk jatuh, ia menggigit bibirnya, berusaha agar
airmatanya tidak jatuh. Rina menatap langit langit rumahnya, ia melarang
airmatanya untuk jatuh. Rina tidak boleh menangis di depan Dika.
Dika tersenyum, Rina
benar benar tau dia akan merindukan senyuman itu.
“jaga diri baik baik ya
Rina.” Dika tersenyum dan mengelus kepala Rina hangat. Rina tersenyum,
memberikan senyum yang paling Dika sukai. Rina mengangguk manis.
Dika melangkahkan kaki
dengan begitu pelan, langkahnya penuh keraguan tapi Dika memutuskan untuk jalan
terus ke depan tanpa mampu menengok ke belakang lagi. Dika tau, jika dia
menengok ke belakang dan melihat Rina, semua keputusannya akan berubah
seketika. Hanya jika dia menengok ke belakang dan melihat Rina.
Rina mengikuti dari
belakang dengan lemas dan senyuman manis yang begitu Dika sukai. Sakit. Sakit
sekali. Ingin sekali Rina mengejar Dika dan memohon untuk tetap di dekatnya,
jangan pernah pergi kemanapun, Rina berani bersumpah tidak akan mengulangi
kesalahannya itu. Rina berjanji akan memberikan kepercayaan kepada Dika
sepenuhnya, apapun yang Dika lakukan akan Rina percaya. Tapi yang bisa Rina
lakukan hanyalah memandang sosok Dika yang semakin lama semakin jauh.
Dika kembali tersenyum
dan melambaikan tangan. Sosok Dika semakin jauh, semakin tidak terlihat, tidak,
bukan karena Dika semakin jauh yang membuatnya tidak terlihat. Tapi genangan
air mata Rina yang membuat pandangannya buyar. Rina berlari ke kamarnya,
mencoba menahan air mata, tapi gagal. Kini ia biarkan air mata itu jatuh,
mengalir, dan terus mengalir.
Air mata karena Dika,
rasa sakit karena Dika, semua hal yang Rina rasakan untuk Dika. Biarlah tetesan
air matanya yang menyampaikan.
Seandainya saja ada
yang bisa Rina lakukan untuk membuat Dika kembali, atau sesuatu yang bisa
menghentikan rasa sakit kehilangan Dika, atau sesuatu yang bisa membuat Rina melupakan
segala hal tentang Dika. Rina benar benar merasakan sakit di hati yang tidak
bisa digambarkan dengan apapun. Sakit, sakit sekali.
Tetesan air mata itu
terus saja jatuh menemani malam hari Rina yang tanpa Dika lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar