Sabtu, 19 Januari 2013

Lara Hati


Rina termenung mendengar lagu yang diputar di radio. Matanya berkaca-kaca. Ada hal yang sedang mengganggu pikirannya, ditambah lagu yang diputar di radio itu benar benar membuat dadanya semakin sesak. Sakit… sakit sekali. Seandainya saja ada hal yang mampu dia lakukan untuk menghilangkan rasa sakit itu. Walaupun beribu tetesan air mata telah jatuh, hal itu sama sekali tidak akan membantu.
Kenapa dadanya begitu sakit padahal tidak ada satu pun luka yang terlihat. Rentetan kejadian beberapa menit yang lalu berputar kembali. Air matanya semakin mengalir deras tidak dapat terbendung lagi. Setetes demi setetes air mata itu jatuh, rasa sakit itu masih tetap terasa. Rina mencoba menghapus air matanya, sebelum air mata itu jatuh, dia telah menghapuskannya. Rina melarang air mata itu jatuh, tapi airmata itu terus saja melawan kecepatan tangan Rina. Rina pun menyerah dan membiarkan air mata itu jatuh, terus terus dan terus.
Satu jam yang lalu Dika datang ke rumahnya. Rina tau ada yang salah, kedatangan Dika yang begitu tiba tiba dan dari raut muka yang Dika tunjukkan, semuanya begitu aneh.
“Rina, ini bukan yang pertama atau kedua kalinya kita mempermasalahkan hal ini.” Rina mengangguk mendengar perkataan Dika.
“kita hampir dua tahun bersama, kamu tau kan?” Rina kembali mengangguk. “dan kamu tau hal yang membuatmu marah adalah hal yang itu saja.” Rina mulai menggigit bibirnya.
“Rina…” Dika melembutkan suaranya.
“aku sangat membutuhkan kepercayaan darimu, dan kita hampir dua tahun, tapi kepercayaan itu tak kunjung hadir.” Rina semakin keras menggigit bibirnya. Kini Dika menghembuskan nafasnya, seakan mencoba mengangkan beban yang ada dipundaknya.
“kita sudahi saja” Kata kata itu telah keluar.
“maaf…” Rina benar benar mencegah air matanya untuk jatuh, ia menggigit bibirnya, berusaha agar airmatanya tidak jatuh. Rina menatap langit langit rumahnya, ia melarang airmatanya untuk jatuh. Rina tidak boleh menangis di depan Dika.
Dika tersenyum, Rina benar benar tau dia akan merindukan senyuman itu.
“jaga diri baik baik ya Rina.” Dika tersenyum dan mengelus kepala Rina hangat. Rina tersenyum, memberikan senyum yang paling Dika sukai. Rina mengangguk manis.
Dika melangkahkan kaki dengan begitu pelan, langkahnya penuh keraguan tapi Dika memutuskan untuk jalan terus ke depan tanpa mampu menengok ke belakang lagi. Dika tau, jika dia menengok ke belakang dan melihat Rina, semua keputusannya akan berubah seketika. Hanya jika dia menengok ke belakang dan melihat Rina.
Rina mengikuti dari belakang dengan lemas dan senyuman manis yang begitu Dika sukai. Sakit. Sakit sekali. Ingin sekali Rina mengejar Dika dan memohon untuk tetap di dekatnya, jangan pernah pergi kemanapun, Rina berani bersumpah tidak akan mengulangi kesalahannya itu. Rina berjanji akan memberikan kepercayaan kepada Dika sepenuhnya, apapun yang Dika lakukan akan Rina percaya. Tapi yang bisa Rina lakukan hanyalah memandang sosok Dika yang semakin lama semakin jauh.
Dika kembali tersenyum dan melambaikan tangan. Sosok Dika semakin jauh, semakin tidak terlihat, tidak, bukan karena Dika semakin jauh yang membuatnya tidak terlihat. Tapi genangan air mata Rina yang membuat pandangannya buyar. Rina berlari ke kamarnya, mencoba menahan air mata, tapi gagal. Kini ia biarkan air mata itu jatuh, mengalir, dan terus mengalir.
Air mata karena Dika, rasa sakit karena Dika, semua hal yang Rina rasakan untuk Dika. Biarlah tetesan air matanya yang menyampaikan.
Seandainya saja ada yang bisa Rina lakukan untuk membuat Dika kembali, atau sesuatu yang bisa menghentikan rasa sakit kehilangan Dika, atau sesuatu yang bisa membuat Rina melupakan segala hal tentang Dika. Rina benar benar merasakan sakit di hati yang tidak bisa digambarkan dengan apapun. Sakit, sakit sekali.
Tetesan air mata itu terus saja jatuh menemani malam hari Rina yang tanpa Dika lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar