Jumat, 15 Februari 2019

"Pak, makasih ya ❤️"
Sengaja ku tambah emot hati di belakang, sekedar untuk penghangat, pemanis, dan penyatu. Sesungguhnya aku sudah rindu betul, tak tau lagi kapan bisa melihat wajah bapak.
Sudah sudah.
Air mata ku bisa sepanjang malam mengalir membicarakan rindu bapak.
Hari itu bapak kaget melihat aku pulang. Wadah yang ia panggul di pundak jatuh dan menghamburkan isinya seketika.
Bapak hampir tak percaya aku pulang. Rindu ini akhirnya bertemu ujung.
Hidupku penuh drama memang, kalo kata orang jika rindu maka silakan bertemu namun bagiku tak semudah itu.
Pulang bagiku berarti memakan biaya setahun kehidupan. Maksudnya, biaya pulang sama dengan biaya hidupku di kota selama setahun. Belum lagi aku perlu kembali ke kota. Maka jika dihitung pulang pergi, aku akan menghabiskan uang sebanyak dua tahun biaya hidup di kota.
Hitung hitungan bapak bagus sekali, tapi karena terlalu bagus ini, aku jadi sedih. Tak sekalipun bapak izinkan aku pulang. Kata bapak, terlalu sering pulang akan berujung pada pemborosan.
Padahal aku sudah tak pernah pulang semenjak kuliah. Terakhir sekali aku melihat rumah, sesaat sebelum bapak mengantarku ke kota.
Ah sebenarnya tidak semahal itu, hanya saja aku yang hidup irit. Barangkali orang makan butuh 20 sampai 50ribu satu hari. Bagiku 10ribu cukup. Aku bersyukur sekali menjadi orang yang tak banyak mau. Jadi kalau diakumulasikan, ya tidak banyak.
Aku bersyukur dosen ku tak memaksa untuk membeli buku, uang beasiswa cukup untuk kos dan makan. Sesekali ikut lomba, ya cukuplah asalkan lombanya gratis dan pasti menang.
Hari itu aku ngotot sekali ingin pulang. Aku bisa puasa sepanjang tahun. Bapak hanya perlu mengizinkan. Aku bosan, suntuk dan perlu kembali meluruskan niat. Aku perlu pulang.
Tapi hari itu pertama kalinya aku mendengar bentakan bapak ditengah suara tangisku. Bapak tidak banyak bicara, hanya membentak agar aku bertahan menghadapi sulitnya belajar, melawan kejenuhan dan berjuang sampai aku benar-benar bisa pulang.
Aku sedih.
Hari itu ku putuskan untuk membenci bapak.
Tapi besoknya aku lebih sedih.
Ku telfon lagi bapak dan minta maaf. Kemudian bapak banyak mendoakan.
Pagi ku cerah dengan ratusan bahkan ribuan doa doa yang dilangitkan bapak.
Semangat ku meningkat lagi.
Hari itu aku pulang, bapak kaget betul melihat kepulangan ku. Wadah yang ia panggul di pundak jatuh dan menghamburkan isinya seketika.
Bapak hampir tak percaya aku pulang. Rindu ini akhirnya bertemu ujung.
Bapak seperti ingin marah, tapi justru pelukan yang aku dapat. Beserta air mata.
Hari itu aku pulang, tapi tidak sendirian. Aku pulang membawa sebuah undangan untuk bapak.
Wisuda.
Pas sudah. Setelah empat tahun memutuskan ke kota dan berjuang disana, kini aku pulang membawa undangan wisuda untuk bapak.
Bapak bahagia, sangat.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, tak sekalipun rangkulan ku di lepas. Tak satu orang pun yang terlewatkan untuk disapa.
Kata bapak, "anak ku mau wisuda. Hei, anak ku jadi sarjana."
Aku tersenyum bahagia, tapi bapak jauh lebih bahagia dari siapapun.
Asik, di kampung ku ada sarjana!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar