Rabu, 24 Juli 2019

Memberikan yang Terbaik

Ternyata, menjadi guru di tempat baru, lingkungan baru, wilayah baru, selalu menarik. Mempelajari hal baru, selalu menyenangkan.

Kali ini waktunya belajar menjadi guru di sebuah boarding school. Untuk seseorang yang biaya sekolahnya hampir selalu digratiskan oleh pemerintah, banyak pertanyaan yang hadir tentang menyekolahkan anak di boarding ini.

Saya belajar satu hal yang sulit tapi berbuah keindahan yaitu: melepaskan anak untuk menuntut ilmu.

Di hari kedatangan mereka di sekolah, saya melihat orang tua yang menghantarkan sampai depan kemudian memberikan salam perpisahan sementara. Hari itu, perasaan saya yang gak karuan. Gimana bisa orang tua jauh dari anak 😅

Saya pernah ditinggal ibu, waktu masih SD selama seminggu. Baru hari keempat, saya udah nangis gegara gak kuat. Tapi ternyata ada loh orang tua yang bisa melepaskan anaknya untuk sekolah di boarding.

Dan saya jadi bertanya tanya, seperti apa hubungan keluarga antara anak dan orangtua yang sudah terbiasa "tidak bersama"

Saya hanya pernah dua kali tidak di rumah dalam waktu lama (cuma sebulanan 😂) dan begitu sampai rumah, langsung sulit keluar lagi. Pun ketika tidak di rumah dalam waktu lama itu, saya sangat memaksimalkan kebebasan 🤭

Lain halnya dengan yang sekolah di pondok. Mereka belajar, tidur, makan, siap siap, semuanya tanpa orang tua, tapi mereka bisa dan mereka kuat.

Saya sampai hari ini rela untuk tidak memaksimalkan fungsi kamar "hanya" agar saya bisa melihat orang tua saya dan agar orang tua saya bisa melihat apa yang saya lakukan.

Sesederhana itu.
Tapi saya juga selemah itu sehingga harus selalu bersama orang tua.

Hanya memikirkan satu point tentang orang tua dan anak yang sekolah di boarding, saya belajar banyak hal. Dan bahkan memikirkan lebih jauh, apa saya siap menyekolahkan anak ke boarding? Kalau tidak siap, apakah saya mumpuni untuk memberikan pendidikan terbaik di rumah?

Sejauh itu emang pikirannya.

Yang saya pikirkan berikutnya adalah ketika anak anak ini sedang tidak di asrama, pasti ada yang ingin bermain, lalu kalau mereka ingin bermain, apa iya harus meninggalkan keluarga lagi? Bukankah ketika mereka tidak bermain, keluar rumah, jalan jalan berarti mereka "hanya" pindah tempat untuk berdiam diri? Tapi kalau mereka keluar rumah dan bermain, bukankah justru waktu bersama keluarga yang berkurang?

Sampai sekarang, pertanyaan pertanyaan itu masih ada. Bahkan saya sendiri yang bertanya ke murid, kalian masuk sini kenapa? Kalian gak kangen rumah? Kalian gak kangen orang tua? Dan lain sebagainya.

Lagi lagi, untuk seseorang yang biaya sekolahnya disubsidi pemerintah, ini tidak mudah untuk dipahami. Karena memang secara teori pun akan baik diakhir in syaa Allah, tapiiii, tapi nih, bicara tentang rasa, apakah hati bisa bicara dusta?

Lisan bilang gapapa padahal hati kenapa napa. Hingga akhirnya baru beberapa hari, sakit fisik yang dirasa.

Saya pikir, membaca buku negeri lima menara cukup untuk menjelaskan kehidupan pesantren yang keras. Tapi ternyata dari buku itu, ada yang belum sampai hatinya ke saya, yaitu tentang sebuah usaha melepaskan untuk kebaikan dimasa yang akan datang.

Ummi abi orangtua murid dari anak anak boarding school,
Barakallahu fiikum, semoga Allah balas kerelaan kalian untuk anak menuntut ilmu dengan segala sesuatu yang lebih baik lagi.

Semangat ya ummi abi, semoga ridho kalian untuk anak anak berbuah pertemuan hakiki di jannahNya.

Aamiin..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar