Sabtu, 02 Juli 2016

26. pedagang sayur dan putri timun



Pada suatu hari, disebuah negeri yang kaya makmur, ada seorang pedagang sayuran yang sedang kewalahan. Ia bingung bagaimana caranya agar sayur-sayurnya habis terjual. Semakin hari, selera orang-orang akan sayur semakin berkurang. Warna hijau yang cerah menggoda tak lagi diminati. Orang-orang masih mencintai makanan yang berasal dari tumbuhan, tapi tidak lagi yang berwarna hijau. Sampai buah semangka pun harus dibelah agar yang terjual warna merahnya.

Si pedagang sayuran telah puluhan tahun menjalani profesinya. Berbagai generasi sudah akrab dengan tuan pedagang sayur ini. Suatu ketika saat lamunannya terhenti pada momen ia memutuskan untuk menjadi pedagang sayur.

"Betapa enaknya menjadi pedagang sayur. Mendapat barang murah, bisa dikonsumsi diri sendiri, bahkan tau manfaat dari setiap sayur sayur ini. Aku pasti bisa menjadi manusia yang bermanfaat dengan berdagang sayuran."

Hari itu, pedagang sayur memecahkan celengan ayamnya. Beruntung, tabungannya cukup untuk membuka lapak di pasar dan membeli sayur sebagai modal awal. Sebelum ia mulai berjualan, si pedagang sayur ini survei ke berbagai daerah. Ia menanyakan khasiat sayur sayur tersebut. Bahkan ia juga menanyakan bagaimana agar sayur sayur tersebut bisa enak dikonsumsi. Ia juga pergi ke warung-warung makan, melihat berbagai macam hasil olahan sayur.

"Waaaah. Aku pasti untung besar. Orang-orang pasti mau membeli sayur ku. Nanti, saat aku mulai berdagang, aku akan memberikan berbagai rekomendasi masakan agar orang-orang mendapati kelebihan yang tidak mereka dapatkan dari pedagang lain."

Seminggu berlalu. Si pedagang sayur telah membuka lapaknya di pasar. Sayurannya hijau, segar, menggoda mata. Beberapa orang yang langganan belanja di pasar menyadari keberadaan lapak baru ini dan menghampiri si pedagang sayur.

"Pedagang baru ya? Jualan sayur apa?"
"Iya, saya adalah pedagang sayur yang baru. Saya menjual berbagai sayuran yang siap diolah untuk makanan keluarga."

Kemudian terjadilah proses jual beli antara si pedagang sayur dan pembeli. Lalu benar saja, si pedagang sayur mulai merekomendasikan berbagai model olahan sayur untuk keluarga. Karena kelebihannya ini, dalam waktu singkat ia pun bisa kembali balik modal.

Lamunannya terhenti. Ah itu sudah bertahun-tahun lalu. Sudah generasi ketiga yang sekarang belanja sayuran di pasar, itu berarti makanan mereka disiapkan untuk generasi keempat dan beberapa generasi kedua yang masih hidup. Selera makanan dari tahun ke tahun berubah. Di desa Langit, makanan memang selalu mengikuti zaman, tapi sayuran tak pernah berubah model. Pedagang sayur tak tau lagi harus merekomendasikan makanan dalam bentuk apa. Ia menengadahkan tangan ke Langit lalu mulai berdoa, "ya Allah, apa ini saatnya aku berhenti untuk menjadi pedagang? Keuntungan telah kucapai, kebermanfaatan semoga telah kuberikan. Jika memang ini akhir dari karirku sebagai pedagang sayur, maka mungkin sudah harus ku pikirkan untuk apa masa tua kuhabiskan."

Si pedagang sayur pun pulang ke rumah dengan sayurannya. Ia menatap lesu, lalu mulai memikirkan harus diapakan sayuran ini. Bergantinya zaman, bergantinya generasi, membuat makanan juga harus menyesuaikan diri. Hari ini, sedikit sekali anak-anak yang menyukai sayuran. Sekalipun mereka sudah mengetahui manfaatnya, tetap saja sayuran seperti musuh besar. Mulut anak anak mengatup rapat jika sayuran terhidang di depan mata. Inginnya, makanan berwarna hijau itu mulai disingkirkan dari muka bumi. Sebagai solusi, orang tua beralih ke buah-buahan. Rasanya yang manis menggoda bahkan sampai meneteskan air liur membuat anak anak dengan sukarela memakannya. Buah adalah makanan sehat bahkan tanpa perlu diolah. Pamor sayur pun semakin hari semakin menurun.

Si pedagang sayur terlelap dalam tidurnya. Sampai ia didatangi oleh salah satu buah yang selama ini menyamar menjadi sayur.

"Ka...kamu siapa?" pedagang sayur kaget setengah bernafas. Ia hampir lari terbirit birit karena melihat perempuan cantik namun....berbadan buah?

"Aku adalah Putri Timun. Langit mengirimku menemuimu sebagai jawaban atas kekhawatiranmu. Jangan takut. Aku tidak bermaksud jahat." Putri Timun menghampiri pedagang sayur. Dengan tongkatnya yang berujung bintang, ia mulai mengeluarkan cahaya keemasan dan seketika keluarlah gambaran berbagai sayuran dan olahannya dari seluruh dunia.

"Lihat. Ini pasukanku, timun. Selama ini orang menganggapku sayur, padahal aku buah. Orang sunda memakan ku dengan sambel, lalu aku jadi lalapan. Coba lihat disini, orang betawi mengolahku bersama sayuran lain, lalu aku jadi karedok. Di lampung, aku juga diolah dengan sayuran lain, dengan kelapa lalu aku jadi terancam."
Putri Timun tersenyum lalu melanjutkan lagi, "Jangan khawatir. Pergilah ke indonesia, lalu temukan berbagai olahan sayur disana."

"Ba...bagaimana aku bisa kesana sedangkan aku tak tau apa itu indonesia, dimana dia berada dan bagaimana cara hidupnya? Lalu apa yang harus ku lakukan setiba disana?" pedagang sayur masih terus ketakutan namun disisi lain ia juga penasaran. Haruskah ia mengikuti saran Putri Timun?

Seketika pedagang sayur terbangun dari tidurnya. Ia segera mengemasi barang barangnya dan menyiapkan uang yang banyak.

"Akuu akan pergi ke indonesia!" serunya bangga.

Pagi pagi sekali, sebelum matahari terbit, sebelum kehidupan di pasar juga mulai, pedagang sayur melangkah gagah menuju tak terbatas dan melampauinya. Desa Langit memang hebat, hanya sepelemparan batu setelah sampai di terminal, hembusan angin telah mengantarkan pedagang sayur sampai ke indonesia. Seperti yang pertama kali ia lakukan, ia melihat keseluruh negeri berbagai olahan sayur. Bahkan ia menemukan banyak sekali anak-anak yang makan sayur dengan lahap. Ia juga melihat ibu2 membuat makanan dengan berbagai bentuk yang menarik. Hati si pedagang sayur gemetar hebat tak tertahankan.

"Di Langit, sayur tak boleh punah. Aku akan belajar memasak sayur disini dan sekembalinya disana, aku akan membuka rumah sayur. Tempat sayur sayur diolah menjadi makanan terbaik dan anak anak mulai kembali mencintai sayur."

Waktu terus berjalan. Pedagang sayur mulai ahli dalam membuat makanan. Ia telah siap kembali pulang ke desa Langit dan membuka rumah makanannya.

Lagi lagi, hanya sepelemparan batu, ia kembali ke terminal Langit. Tidak terlalu banyak yang berubah hanya sajaaaaaa.......

Si pedagang sayur keliling pasar, ia bahkan berlari keliling desa.
Oh tidak.....
Disudut manapun tak lagi ditemukan pedagang sayur. Bagaimana ini? Ia harus cepat. Membangun rumah sayur dan segera memasak menjual sayuran keseluruh desa. Orang-orang tak boleh melupakan sayur.

Menghilangnya pedagang sayur dan kemunculannya yang tiba tiba membuat seisi desa kebingungan. Terlebih lagi si pedagang sayur ini bertingkah aneh semenjak kembali. Ia mulai membangun.. Rumah sayur? Orang orang kembali bingung. Telah lama sayur tidak ditemukan lagi. Lagipula siapa yang mau makan sayur hari ini? Anak anak bahkan orangtua sudah tak lagi menyentuhnya.

Namun ada yang berbeda lagi. Pedagang sayur mengeluarkan penggorengan dan mulai memasak. Harumnya tercium sampai ke desa sebelah. Bau bau sayuran segar juga mulai tercium lagi. Bau apa ini? Seluruh warga mengikuti aromanya sampai ke rumah sayur. Mereka terpana melihat kegigihan pedagang sayur dalam memasak. Belum lagi aromanya yang menggoda membuat air liur menetes.

"Silakan silakaaan."
Pedagang sayur mempersilakan orang orang masuk ke rumahnya dan mulai menyajikan buah buahan.

"Makan buah dulu, baru makan makanannya."
Itu yang ia pelajari di indonesia. Ternyata sunahnya begitu. Makan buah dulu baru makan berat. Si pedagang sayur tersenyum sambil terus memasak.

Sedetik kemudian berbagai macam olahan sayur terhidangkan di meja. Untuk anak-anak dilengkapi dengan gambar gambar menarik. Dalam hitungan detik makanan pun telah habis. Lalu orang orang menanyakan, apa yang baru saja ia makan.

Seolah menjadi pahlawan, si pedagang sayur berjalan ke tengah rumah sayur. Dengan spatulanya yang terancung ke depan, ia tersenyum tajam sambil menatap bangga ke arah sayuran.

"Yang baru kalian makan adalah....sayuran."

Tepuk tangan bersautan. Kepunahan sayur berhasil dihentikan. Orang orang mulai pandai mengolah sayur. Hari itu, tidak ada lagi manusia yang tidak makan sayur. Bahkan sampai akhir hayatnya, si pedagang sayur terus masak dan menyiapkan makann terbaik untuk seluruh pencinta sayur (tidak ada lagi yang tidak menyukai sayur.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar