Selasa, 05 Juli 2016

30. Kisah Pohon yang Selalu Diam



Pada suatu hari, di bumi terjadi kesedihan besar. Seluruh umat manusia tenggelam dalam kesedihan bahkan hari itu tak lagi ditemukan sebuah tawa atau sekedar senyuman. Bumi sempurna bersedih. Untungnya Langit tidak pernah sepakat dengan kesedihan bumi. Mau sedalam apapun luka dan kesedihan, bagi Langit urus saja sendiri. Tugasnya hanya memayungi, apa yang terjadi tak perlu dipikirkan.

Langit curang, begitu dulu kata bumi. Jelas saja, ketika bumi bersedih dengan keadaannya, Langit tak peduli. Namun ketika Langit sedih bahkan menangis, bumi yang harus menanggung resikonya. Sampai sampai umat manusia menengadahkan wajahnya ke Langit, lalu....

Penduduk bumi tau, kadang satu dua kali Langit suka mengabulkan harapan. Mengiyakan doa dan memberikan perasaan bahagia. Hari itu, saat bumi bersedih dan seluruh umatnya berair mata, ada seorang pujangga yang mampu menyihir manusia dengan kata katanya berdoa.

"Kenapa harus ada kesedihan jika bahagia juga diciptakan?
Kenapa harus ada rasa jika diam selalu jadi pilihan?
Kenapa hati tak mampu mengatur perasaan apa yang akan hati rasakan?
Kenapa tak diam saja? Jadi pohon yang berdiri kokoh. Diam dan menyaksikan. Tanpa ada sebuah tanya tentang keadilan?"

Ketika bumi bersedih, Langit kali ini sedikit berbaik hati. Iya, sekali lagi mengiyakan satu dua doa. Doa doa terpilih itu, bukan sekedar doa ecek ecek. Bukan doa yang hanya menguntungkan diri pribadi. Tapi, doa yang mampu menembus hati Langit. Menggetarkan seluruh penghuninya, lalu sepersekian detik kemudian semua berkata, "aamiin."

Maka dengan proses instannya yang jika di detailkan akan terasa lama, ada doa-doa yang dikabulkan. Salah satunya adalah doa sang pujangga.

Hari itu bumi bersedih, penduduknya juga. Tapi Langit tak peduli. Terutama penduduknya, karena matahari tak tiba-tiba mengurangi panasnya sebagai tanda simpati. Atau bulan seketika berhenti memutari bumi sebagai tanda pedulinya. Dan bintang, tidak tiba tiba menghentikan kelap kelipnya. Bintang terus berkelap kelip seolah mengejek.

Tak taukah Langit dan penduduknya bahwa bumi sedang bersedih?

Pujangga tadi tertidur dengan lelapnya. Hanya tidur yang mampu menghapus semua rasa sedih, nestapa bahkan kehancuran. Kasihan. Hal yang menyedihkan berikutnya adalah tak jarangnya orang-orang menyamakan kematian dengan tidur selamanya. Padahal ketika kamu tidur, tidak pernah ia menjadi selamanya terkecuali kamu mati. Lalu mati tak membuat kamu bangun tiba tiba hanya karena anggapan manusia bahwa mati seperti tidur selamanya. Lagi pula, siapa yang tau seberapa lama selamanya itu. Mungkin mereka yang mempercayai kata selamanya perlu diingatkan tentang negeri akhirat. Saat selama apapun menunggu di padang makhsyar, tetap saja tak ada kata selamanya. Kecuali nanti, ketika kaki telah di surga, atau jika kamu bukan umat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ketika kakimu sampai di neraka, pertemuan dengan kata selamanya akhirnya terjadi. Mereka kekal di dalamnya, entah itu surga atau neraka.

Setelah Langit mengaamiinkan. Si pujangga tadi berubah. Seketika itu bumi tersesak. Beberapa lahan di hutan bergerak, pohon pohon bergeseran memberi tempat kepada si penghuni baru. Ya, Langit mengaamiinkan doa pujangga menjadi pohon. Ketika terbangun dan hendak bergerak, pujangga kaget setengah mati. Dahan dahannya hanya bergerak seolah tertiup angin. Belum lagi semua sisinya yang tertutup daun. Ia merasa perlu berdiri di depan cermin sekedar untuk mengetahui apa yang terjadi. Dan dia....jadi pohon? Negeri macam apa ini. Bumi tak pernah mengatakan bahwa ia memiliki kemampuan mengabulkan doa. Ah, si pujangga kebingungan setengah mati. Lalu ada pohon baik hati disebelahnya yang rela menjelaskan sebuah tanya meskipun akhirnya tak juga ia kepuasan.

"Puisimu.
Kamu tau pujangga, hanya ada dua hal yang terjadi lewat kata katamu. Ia mampu memotivasi atau membuat jiwa mati, hanya itu. Terakhir kali, puisimu yang belum tersebar luas, membuat Langit tersentuh. Ditengah ketidakpeduliannya, Langit sering mengabulkan satu dua doa untuk dijadikan nyata. Dan kamu yang mampu memotivasi atau membuat jiwa mati, pada akhirnya beruntung karena kamu lah yang terpilih. Padahal ada milyaran manusia yang berdoa lainnya." lalu pohon itu kembali menghadap matahari.

Pujangga tadi menatap genangan air di depannya. Benarlah ia telah menjadi pohon. Kesedihannya bertambah tambah. Ia ingin menangis tapi bagaimana ini? Tak ada mata yang mampu berair mata. Pelan-pelan ia mencoba menjadi pohon yang baik dan berinteraksi dengan sekitarnya. Ia telah lupa, apa yang menjadikan alasannya dulu agar menjadi pohon.

Waktu berjalan terus. Kesedihan telah menghilang. Kadang waktu cukup baik, ia menyembuhkan tanpa pernah pamrih. Jika sekali saja waktu memutuskan untuk berhenti, bumi pasti akan mengalami kesedihan berkepanjangan tapi waktu baik. Diam dan menyembuhkan.

Hingga tiba masanya, si pujangga menjadi pohon tua. Datanglah sekelompok manusia yang ingin memanfaatkan setiap inci dari tubuhnya. "Ini, kuat dan bagus. Sekalian saja beberapa yang lain."

Hari itu tiba. Kenyataan bahwa kata selamanya tak pernah ada, tejadi lagi. Pun bagi pohon yang katanya bertugas hanya diam. Tak peduli seberapa tidak mengganggunya ia, tetap saja ada yang usil ingin mengambilnya. Mengakhiri kehidupan pohon. Ah pelajaran lain, toh kita tak harus bersalah untuk mati kan? Jika tiba saatnya maka kematian akan datang. Jika kamu manusia, maka malaikat izroil yang terbaik melakukannya. Jika kamu pohon maka itu...manusia?

Pohon demi pohon berhasil ditebang. Tinggal kesedihan si pujangga yang tak kunjung sirna. Teman-temannya lebih dulu hilang. Dibawa. Hingga ia sendirian. Hari itu ia ingin berdoa. Ingin kembali jadi manusia. Tapi, taukah ia bahwa manusia adalah makhluk paling mulia dan sempurna. Maka makhluk lain tak bisa diaamiinkan doanya untuk jadi manusia.

Gilirannya tiba, ketika pelan pelan tubuhnya disakiti, ia memang tak merasa kesakitan, tak juga ada darah yang keluar tapi bagi si pujangga itulah yang paling menyakitkan. Seolah tak bernyawa berarti tak memiliki rasa. Kesedihan pohon hanya dirasakan oleh pohon. Manusia tak peduli sekalipun pohon telah menjerit dengan caranya.

Hari itu, ketika tubuhnya tertebang habis. Dipotong menjadi ratusan bagian, ia paham satu hal. Dengan menjadi pohon, matimu karena tertebang. Dengan menjadi manusia, matimu karena Tuhan. Tapi manusia dikenang, pohon dilupakan. Bahkan ketika telah terpotong habis, tak ada yang peduli bagian tubuhmu mana saja.

Bagian tersulit bukan hilang tanpa bekas, tapi tak ada yang mengenang atau kata orang-orang, dilupakan.

Hari itu si pujangga belajar lagi, hati hatilah dalam berkata sekalipun kamu berpuisi. Karena Langit tidak tau dan tidak peduli. Ia hanya mengaamiinkan lalu resiko kembali padamu. Jangan berandai andai. Allah tidak suka kan? Oleh karenanya, banyak besyukur. Kalimatmu sebagai pujangga, haruslah memotivasi bukan membuat jiwa mati.

Kemudian tubuh si pujangga dibuat menjadi berbagai hal. Meja, kursi, lemari, sampai tusuk gigi. Jika sudah begini, si pujangga bertanya tanya sendiri, siapalah aku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar