Senin, 10 Juni 2019

Anak Laut

Bagiku, bapak selalu hebat.
Tak pernah mengeluh walaupun sering marah marah.
Suaranya keras, maklum, tipikal suara orang yang tinggal di dekat laut. Hobi teriak teriak mengalahkan debur ombak.

Aku kadang kesal dengan warna kulitnya yang hitam, karena bapak hitam akhirnya aku pun juga jadi hitam. Sulit sekali menjadi putih bersih bersinar. Aku selalu tetap terlihat seperti anak laut.

Bapak ku hebat, walau sering membuatku banyak berdebat. Salah sendiri bapak menyuruhku sekolah tinggi tinggi. Mana bisa jadinya aku dibodoh bodohi.

Kata bapak, jadilah anak penurut, rajin membantu, selalu mendengarkan kata orang tua. Tapi ternyata sekolah membuat ku jadi kritis, banyak bertanya dan mempertanyakan. Bapak kesal, tapi salah bapak sendiri kenapa aku di sekolahkan tinggi tinggi.

Bapak bilang, coba tengok anak sebelah, mereka penurut, diperintahkan ini itu mau tanpa banyak tanya. Mereka diberi ilmu kemudian diingat lalu dipraktikkan. Kata bapak, mereka tidak seperti aku.

Biar saja, toh aku menjadi seperti ini lebih lebih dikarenakan bapak yang selalu menuntut ku untuk memiliki ilmu banyak.

Buat apa menerima ilmu tanpa tau fungsi, tanpa tau tujuan, tanpa tau efek samping. Coba saja bapak tanya kepada anak anak tetangga, siapa dari mereka yang tau kenapa harus berlayar di waktu malam.

Wahai bapak, aku ini cerdas.
Salah bapak menyekolahkan ku tinggi tinggi.

Bapak pernah sekali berubah pikiran, meminta ku untuk berhenti saja sekolah. Kata bapak, aku terlalu tidak bisa diatur. Kemudian bapak bilang, bukan itu tujuan dari pendidikan yang bapak inginkan.

Ku sampaikan dengan argumen yang akhirnya berujung debat panjang. Kataku, "pak, di sekolah itu kami hanya belajar baca tulis hitung. Perkalian, tambah tambahan kemudian mengenal alam dan belajar sejarah."

"sebelah mana lagi yang bisa aku terapkan untuk kehidupan sehari hari? Masa iya aku hanya mengenal nama nama pohon dengan istilah biologinya. Buat apa? Atau aku hanya menghafal nama nama pahlawan dan peperangan. Apa fungsinya?"

"bapak tentu tidak menyekolahkan ku untuk tujuan itu kan?" aku meledek bapak kali ini, bapak harusnya berpikir matang matang sebelum menyuruh ku sekolah tinggi tinggi.

Bapak tersenyum, aku tau bapak tidak suka debat dengan ku, tapi aku tau bapak bangga karena aku bisa berpikir.

Ku dengar dari penjaga warung sekitar, katanya bapak sangat bangga aku bisa menghitung uang kembalian disaat anak anak lain harus belanja dengan uang pas. Bapak bangga aku banyak bertanya ketika orang orang menyuruhku melakukan sesuatu yang bukan pekerjaan ku.

Kata bapak, orang cerdas tidak kerja dengan otot, tapi otak. Kata bapak, tempat ku bukan di laut, tapi di gedung tinggi ibukota.

Tapi hari ini aku memutuskan bahwa kerjaku di gedung tinggi ibu kota akan selalu ku gunakan agar bisa memanfaatkan dan melestarikan kehidupan laut dengan baik.

Kata orang orang, bapak bangga dengan ku. Dari sekian banyak anak seusia ku di kampung, hanya aku yang bersekolah tinggi. Bapak lebih bangga lagi karena aku akhirnya anak anak di kampung banyak yang ingin bersekolah tinggi.

Tau benar aku, bapak selalu hebat dan aku selalu bangga dengan bapak. Dan aku sangat menyukai keputusan bapak menyekolahkan ku tinggi tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar