Senin, 14 Mei 2018

Suatu Hari di Baduy

Suatu hari di Baduy...

"itu mah masih mending teh, aku pernah ya ngobrol sama orang Baduy, terus dia nanya Amerika itu dimana. Katanya dia mau nganter madu ke Amerika."
"lah, emang bisa?"

Beberapa hari "bermain" bersama mereka membuat panggilan teh tidak lagi asing ditelinga. Belum lagi ketika harus manggil laki-laki yang lebih tua dengan sebutan "Aa" atau "Akang." padahal dulu untuk memanggil laki-laki yang lebih tua dengan sebutan "mas" saja butuh waktu sebulan untuk benar benar terbiasa di lidah. Sebenarnya lebih enak memanggil dengan sebutan "kak" tapi, when in Rome, do as the Romans do.

"nah iya teh, kan gabisa ya. Orang Baduy kan gaboleh tu yang nyentuh modern modern. Alat elektronik aja gaboleh, listrik aja gak ada dirumah nya."
"iya, terus kamu jawab apa?"

"ya aku bilang, amerika jauh pak, harus naik pesawat."
"saya bisa jalan neng."
"gabisa pak, nyebrang laut juga."
"saya bisa berenang."
"gabisa pak, lautnya dalam dan luas. Bapak bisa tenggelam nanti."

....

Sampai disitu, aku terdiam mencerna kata kata teman baru ku itu. Dia banyak cerita tentang pengalamannya di Baduy Dalam. Perjalanan yang harus ditempuh berjam jam, dengan track yang tidak biasa, untuk manusia umumnya mungkin bisa memakan waktu sampai delapan jam. Tapi untuk orang Baduy asli tidak sampai lima jam mereka melakukan perjalanannya. Itu pun sudah ditambah dengan barang bawaan yang beratnya kadang tidak masuk akal.

Baduy adalah sebuah suku di Banten yang masih menjaga adatnya dengan sangat baik. Bayangkan, hanya dipisahkan dengan sebuah jembatan maka kamu akan memasuki sebuah wilayah yang tanpa tiang listrik di dalamnya. Itu masih Baduy Luar. Kamu masih bisa berfoto foto disana. Tapi ketika di Baduy Dalam, berani mengambil foto sekali saja, maka tunggu apa yang akan terjadi kepadamu.

"kenapa ya orang Baduy bisa segitu kuatnya dengan adat mereka? Maksudnya, yang ngunjungi mereka kan gak cuma satu dua ya, tapi banyak. Pun juga dengan kemodernannya mereka. Sebagai manusia, rasa ingin tahu itu pasti ada dong ya. Tapi mereka bisa gitu ngeredam itu semua dan tetap bersama adat mereka."
"yang aku tau ya na, kalo mereka mau kaya yang modern modern gitu, mereka nanti dikeluarin dari suku nya."
"tuh kan, berarti mereka gak sekolah juga kan?"
"iya, kalo sekolah nanti mereka dikeluarin."

Hmmm.

"lagian, mereka itu cinta sama sukunya, sama adatnya, sama tetua adatnya. Mereka seneng ngelakuinnya. Coba deh, kamu kalo udah cinta sama sesuatu pasti ngelakuinnya dengan totalitas kan. Itu pentingnya cinta na, cinta yang bener akan menghasilkan ketaatan. Apa yang disampaikan pemimpin pasti kamu ikutin, karena emang kadang kita gak paham maksudnya apa, tapi setelah kita laksanakan pasti ada hikmahnya. Kan tugas kita hanya taat kan? Main kan peran dengan sebaik baiknya selama masih sesuai sama Al Quran dan hadist Rasulullah."

Obrolan jadi kemana-mana. Tapi memang masuk akal.

"iya teh, lagian mereka itu agamanya sunda wiwitan. Mereka percaya sama Allah, percaya rasulullah. Mereka juga suka maulid gitu teh."
"hoo gitu ya, mereka sholat gak?"
"engga teh."
"mereka belom selesai ya di dakwahi nya, tugas kita sebenernya buat menyelesaikan itu... Masih ada interaksi antara islam dengan tradisi lokal. Wali songo belom selesai, itu harusnya tugas kita..."

Kemudian kami tenggelam dengan pikiran masing-masing. Sambil memandangi jalan yang terus menanjak, kelelahan yang tanpa ujung, namun pembelajaran, ilmu pengetahuan dan segudang hikmah lainnya yang membuat perjalanan ini terasa sangat mahal walau tak ada satu rupiah pun uang yang perlu dibayarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar