Kamis, 20 Agustus 2015

Aku masih boleh kan?

Memang, caramu dari dulu yang selalu begitu. Rasanya kepalaku mau meledak ketika melihat emosi mu meluap. Mungkin harus ada beberapa gelas yang pecah, agar keheningan bisa tercipta. Atau mungkin aku yang harus berteriak keras, lalu lari ke kamar mandi dan menyalakan keran. Membiarkan derasnya air menemani setiap tetes air mata dan meredamkan suara tangis ku yang pecah tak tertahankan.

Caramu berbahasa selalu salah. Tak pernah perhatikan bagian terkecil di dalam hati yang diam diam tertusuk.
Setiap yang ku lakukan pun selalu salah. Tak ada benarnya walau hanya setitik.

Entah kapan terakhir kita tertawa bersama.
Menuangkan teh ke cangkir mu, lalu membahas hari hari kita yang panjang.
Entah kapan terakhir kita tertawa bersama.
Duduk sambil menatap langit, menghabiskan es krim hingga tetes terakhir.

Tak tau kenapa, kini es krim menambah dingin suasana di rumah. Bercangkir cangkir teh pun gagal menghangatkan suasana. Hingga akhirnya, aku lelah berteman dengan cangkir. Mereka kini tinggal menunggu giliran terbanting dan pecah.

Dulu aku diam, bahasa ku hanya tangisan. Dan senyum mu adalah akhir dari penderitaan.
Tapi sejak saat itu, saat kau melakukan kesalahan terbesarmu, aku tak lagi bisa diam.

Walau air mata terus ada, aku juga bisa berbahasa, dengan kata kata yang keluar dari lisan. Aku belajar menyampaikan perasaan. Aku tak lagi bisa sekedar diam.

Ditengah deraian air mata, aku masih boleh kan mengatakan kalau kita baik baik saja?

Aku masih sanggup menanggapi ego mu. Aku masih bisa meladeni kesalmu. Aku masih siap menjalani hari yang tak lagi seindah dulu.

Mungkin nanti, saat air mata tak lagi ada. Saat senyum tak lagi tercipta. Saat lisan tak mampu lagi mengeluarkan kata. Saat itulah, aku menyerah.
Diam, tak peduli. Hingga akhirnya, kita sama sama menemui akhir dan memulai awal.

Tapi.. Ditengah deraian air mata, aku masih boleh kan mengatakan kalau kita baik baik saja?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar