Senin, 17 Agustus 2015

Tentang Negara yang Berdiri Tahun 45

Tentang Negara yang Berdiri Tahun 45

Kekayaan alamnya telah mengundang bangsa lain.
Cengkeh, padi, mutiara, sampai domba.
Rakyatnya?
Kaya, sampai makan pun tak bisa.
Pemudanya?
Hebat, sampai jadi sampah masyarakat.

Jakarta, 24 April 2015.
Disaksikan semesta, langit dan bumi.
Kau hadir disini,
Belajar memperjuangkan hak rakyat,
Belajar meneriakan suara,
Belajar mengingatkan mereka,
Kursi apa yang sedang mereka tempati.

Mei, 1998
Mereka sudah terlalu terlena.
Kursi telah melanakannya.
Terlelap dalam harta,
Tenggelam dalam lautan nikmat.
Didetik yang sama, mereka menangis.
Tak tau harus apa,
Tak tau harus kemana.
Hari ini makan apa,
Masih kah ada setetes air untuk kami.

1974
Mereka teriakan demokrasi,
Mereka ajak kami menusuk wajahnya,
Agar mereka jadi penguasa.
Di detik yang sama, mereka tertawa.
Permainan demokrasi telah berakhir.
Putih menjadi warna favorit kami.

1966
Mereka kaget melihatnya,
Mereka kira kami tak bisa bergerak.
Mereka kira, kami bisa dilenakan dengan orasi
panjang.
Hanya karena kau bapak kami,
Tak berarti kami bonekamu.
Lagi lagi, kami bosan.
Kau kira, kami hanya anak bocah yang sedang
main politik.
Apa kau lupa, kami sendiri belajar darimu tentang
pergerakan.

17 Agustus 1945
Kau ajarkan kami teriak MERDEKA!
Tapi kau tenggelamkan kami dalam lautan
penjajahan.
Penjajahan yang lagi lagi kau kemas dengan
cantik.
Tak lagi bangsa kolonial.
Namun kau, dengan citramu.
Kau duduk disana, mengatur kami.
Citramu adalah kemajuan bangsa demi kemajuan
kami.
Kami bosan.
Tak lagi teriakan merdeka!
Namun, hidup mahasiswa!
Biar kami tunjukan pada kalian,
Kursi iti bukan kursi biasa.
Kursi itu bukan kursi pendusta.

Bogor, 25 April 2015
Tunggu kami, menggeser kursimu.

Tulisan ini dibuat saat SAC, sospol adventure camp. Beberapa jam sebelum tampil pensi, saat yang lain masak untuk makan malam saya malah bikin puisi. Deg degan, karena gatau harus nampilin apa. Dengan modal bismillahirrohmanirrohim, coret sana sini, akhirnya jadi puisi. Temen temen bilang puisinya keren. Cuma entahlah, saya cuma mikirin, kelompok iptek harus maju pensi dan penampilannya harus keren dan berkesan. Latihan beberapa saat, puisi ini dibaca oleh tiga orang. Saya, nadya, yosi. Nadya dua bagian awal, yosi dua bagian tengah,dan saya sisanya.beberapa anggota lainnya yaitu sinta, qory,bayu, dede, hani, mereka nyanyi lagu buruh tani, dari awal sampe akhir. Dan diulang terus hehe.

Kita pun maju.
Dengan dag dig dug, diliatin semua orang. Kita usaha maksimal. Badan saya gemeter pas harus bacain puisi di depan orang orang. Apalagi ini puisi tulisan saya yang dibuat ganyampe setengah jam. Entahlah.

Dengan cahaya lampu seadanya, kita coba kuasai panggung dan lapangan. Kita mainkan ekspresi dan intonasi. Penonton pun berkali kali menganggukan kepala. Entah apa yang mereka pikirkan.

Tibalah bagian saya. Badan makin gemeter. Tapi sebelumnya saya udah baca doa. Dan alhamdulillah lancar. Temen temen yang nyanyi buruh tani pada berhenti. Tapi puisinya masih ada satu bait lagi. Dengan memainkan intonasi lagi, dan dengan gaya yang luar biasa. Saya sampaikan bahwa kita, mahasiswa akan menggeser kalian. Manusia manusia yang numpang duduk di kursi rakyat dan nerima duit. Kaya kamu, iya kamu.

Setelah selesai tampil. Alhamdulillah. Responnya positif. Banyak yang minta tulisannya di upload. Di share. Dan kalo bisa dibawa pas lagi aksi, hehehe.

Tapi balik lagi, tujuan tulisan ini karena saya nengok ke sejarah dan melihat bahwa kita, pemuda, mahasiswa, bener bener jadi tulang punggung akan lurusnya pimpinan yang gak bener. Kita siap turun dan hancurkan semua kedzoliman. Kita bergerak atas nama rakyat. Tapi, kita juga gak serta merta turun tanpa ada analisis dan kajian tentang berbagai isu. Engga. Kita prepare semuanya. Hingga saat ada seruan aksi, kita semua tau bergerak untuk apa dan atas tujuan apa serta berjuang atas suara siapa. Itu kita, mahasiswa. Dengan segala kekurangan dan kelebihan kita.

Mungkin kamu, gak akan paham sampai kamu jadi bagian dari kita. Mungkin kamu punya cara sendiri untuk memajukan negri. Tapi, bagaimana pun itu, teruslah melihat ke bawah. Tengok rakyat kecil yang ditindas. Dan teruslah tengok ke atas, kawal semua orang yang katanya wakil rakyat. Kawal semua sampai hal paling kecil, sampai ke titik terendah, sampai ke rupiah terakhir.

Jangan pernah diam, karena diam adalah pengkhianatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar