Kamis, 12 Januari 2017

3/10

Tiga.

Saya selalu berfikir bahwa saya cukup mengenal seseorang dengan baik. Melihat dari jauh lalu saya cukup menyimpulkan yang apa adanya. Seringnya, saya lupa bahwa yang tersembunyi jauh lebih besar daripada yang tampak. Teori gunung es.

Iya, saya sering melihat dan berkhusnudzon bahwa yang bahagia adalah mereka yang benar bahagia. Bahwa mereka yang tertawa adalah mereka yang selalu tertawa. Bahwa mereka yang tersenyum adalah mereka yang mau tersenyum.

Seperti itu.

Saya cukup melihat luarnya, lalu nilainya keluar. Saya lupa dan tidak memperhatikan bahwa yang tak terlihat jauh lebih banyak. Yang disembunyikan jauh lebih besar.

Sampai pada akhirnya, saya bertanya tanya. Bagaimana caranya manusia selalu terlihat bahagia? Selalu tersenyum dan tertawa seolah tak punya duka.

Saya lagi lagi diam memperhatikan. Namun diwaktu yang berbeda. Mungkin jika sedang bersendirian, mereka akan terlihat aslinya. Mungkin jika tak ditengah keramaian, mereka mengeluarkan dukanya yang tertutup rapat.

Saya memang bukan yang ahli dan bukan yang suka berteman jauh sampai ke akar. Mengenal sampai ke masa lalu. Penasaran sampai kepo berlebihan jika itu mengenai luka. Saya sering menyimpan tanya dan tak membiarkan satu katapun keluar jika itu mengundang duka. Jika nanti ada airmata.

Tak semua tanya harus dijawab. Ada banyak hal yang lebih baik tidak kita ketahui.

Namun sekali waktu, rupanya ada saja yang dengan sukarela tanpa harus ditanya menceritakan kesusahannya. Ada pula yang setelah menutup rapat lalu memutuskan berbagi. Dilain tempat, ada juga yang menceritakan hanya untuk melegakan perasaannya. Tak banyak, hanya satu dua.

Akhirnya, saya mendapat jawaban atas pertanyaan pertanyaan mengenai bagaimana manusia bisa begitu bebas dari duka yang terlihat? Selalu bahagia, selalu tersenyum?

Rupanya, mereka pernah merasakan luka yang lebih dalam. Luka yang jauh tersembunyi. Luka yang dibandingkan dengan kondisi hari ini, kehidupannya sekarang, jauh lebih kecil. Bahkan bukan apa apa.

Mereka terbiasa hidup dengan lukanya. Mereka menyimpan masa lalu dengan rapi agar tak mudah terbawa rasa. Lukanya telah membuat mereka memiliki hati yang jauh lebih besar. Memaafkan kesalah kecil orang lain karena dia tau ada hal lain yang lebih besar telah melukai hatinya.

Ah, saya jadi belajar banyak.
Mungkin saya yang sering lelah, sering mengeluh, selalu kesulitan dalam banyak hal, cenderung mengekspresikan rasa sakit, tidak pernah merasakan luka yang begitu dalam. Sehingga luka yang hanya setitik seolah telah menikam.

Jauh berbeda dengan mereka yang tersenyum menyembunyikan lukanya. Hal kecil bukan masalah, kesulitan bukanlah sesuatu yang perlu dipermasalahkan. Hatinya telah cukup luas untuk luka luka setitik. Menyembunyikan dan melupakan adalah hal yang selalu mereka lakukan. Tak usah ada yang tau karena mungkin nanti luka itu bisa kembali berdarah.

Saya kembali belajar, bahwa tak selamanya tawa berarti bahagia, senyum berarti tak ada masalah dan bisa bahagia tanpa ada satu masalah.

Ini adalah soal hati, masalah keluasan dalam mengolah rasa. Dan merasa cukup hanya dengan dirinya dan Sang Maha yang mengetahui kondisinya.

Saya selalu bersyukur ketika ada yang dengan rela menceritakan yang ingin dilupakannya. Bukan karena saya mampu menyelesaikan lukanya, menyembuhkan dukanya, tapi lebih karena mereka mau berbagi luka itu. Mereka mau saya memahami keadaannya dan mereka mau saya menerima mereka apa adanya.

Sulit memang menceritakan luka, jujur kepada orang lain tentang yang dirasa. Oleh karena itu saya selalu berusaha menyimak jika ada yang bercerita apalagi itu tentang rasa.

Saya bersyukur bahwa masalah saya bukan apa apa jika dibandingkan dengan yang lainnya. Saya bersyukur bahwa masalah yang saya anggap besar ternyata orang lain juga memiliki masalah yang lebih besar. Dan ditengah besarnya masalah masalah itu, saya selalu bersyukur bahwa ada Allah Yang Mahabesar. Allah yang rindu rintihan hambaNya, lalu Allah berikan masalah itu.

Trainer saya mengatakan, "masalah ada bukan untuk diselesaikan, tapi dibaca pesan cintaNya." Barangkali, itu cara Allah memanggil hati kita untuk pulang.

Bersyukurlah dengan masalah yang ada. Mereka bukan apa apa. Selalu ada Allah yang mampu menenangkan :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar